Bencana Longsor dan Aliran Debris di Banaran, Ponorogo

Kali ini menimpa Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo pada tanggal 1 April 2017 menyebabkan 28 warga hilang (tiga sudah ditemukan dalam keadaan meninggal), 200 warga kehilangan tempat tinggal dan ladang, dan 19 orang mengalami luka ringan (Radar Ponorogo, 3 April 2017).

Menurut informasi yang diperoleh dari BPBD di posko induk, kronologis kejadian longsor sudah mulai terlihat pada tanggal 11 Maret 2017 yaitu adanya retakan kurang lebih 30 cm di bagian atas bukit. Kemudian pada tanggal 17 Maret 2017 retakan tebing tersebut menjadi lebih panjang dan luas yaitu sekitar 9 meter. Pada tanggal 26 Maret 2017 retakan tersebut meluas menjadi 15 meter, dan terakhir pada tanggal 31 Maret 2017 retakan tanah sudah bertambah menjadi 20 meter akibat akumulasi hujan yang terjadi beberapa hari sebelumnya meskipun dengan intensitas yang rendah. Tercatat tanggal 25 Maret (21,7 mm); 26 Maret (6,1 mm); 27 Maret (6,2 mm); 28 Maret (0,1 mm) dan 29 Maret (1,1 mm) (PTRRB, BPPT).

Sebenarnya sejak tanggal 26 Maret 2017 warga sudah mulai mengungsi ketika retakan sudah mencapai 15 meter. Setiap malam, warga mengungsi ke lokasi-lokasi pengungsian yang disiapkan oleh desa, namun ketika pagi hari mereka kembali ke tempat tinggal mereka untuk beraktifitas seperti biasa (memberi makan ternak, mengolah lahan, dsb). Bahkan ketika longsor terjadi sebagian besar warga kembali ke lahan mereka untuk memanen jahe.

Bencana tanah longsor yang merupakan salah satu bentuk dari bencana hidrometeorologi (baca: Bencana Hidrometeorologi, apa itu?) selalu terjadi di Indonesia sepanjang tahun, dan kecenderungannya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tektonik di Indonesia yang membentuk morfologi tinggi, patahan, batuan vulkanik yang mudah rapuh serta proses-proses geomorfologi yang berlangsung sangat intensif yang ditunjang oleh iklim tropis basah, sehingga menyebabkan potensi tanah longsor menjadi tinggi.

Tanah longsor adalah proses perpindahan massa tanah (batuan) akibat gaya berat (gravitasi). Longsor terjadi karena adanya gangguan kesetimbangan gaya yang bekerja pada lereng yakni gaya penahan dan gaya peluncur. Gaya peluncur dipengaruhi oleh kandungan air, berat masa tanah itu sendiri berat beban mekanik. Ketidakseimbangan gaya tersebut diakibatkan adanya gaya dari luar lereng yang menyebabkan besarnya gaya peluncur pada suatu lereng menjadi lebih besar daripada gaya penahannya, sehingga menyebabkan masa tanah bergerak turun.

Hal ini dipercepat dengan adanya pemicu berupa munculnya degradasi lahan akibat perubahan tataguna lahan yang tidak mengindahkan fungsi lahan dalam kawasan. Kombinasi faktor anthropogenik dan alam merupakan penyebab terjadinya longsor yang memakan korban jiwa dan kerugian harta benda. Menurut hasil pengamatan di lapangan, kondisi di sekitar longsor banyak ditanami oleh tanaman pertanian, selain itu juga banyak ditemukan teras-teras di bagian atas bukit. Sistem terasering yang tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air (SPA) sangat berpotensi memicu terjadinya longsor. Air hujan yang jatuh akan tertahan lama di lahan (tanpa SPA) dan masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, akibatnya, tanah menjadi lebih cepat jenuh air (kenyang air) dan meningkatkan resiko terjadinya longsor.

Menurut cerita warga, diketahui bahwa sudah sekitar empat tahun terakhir terjadi konversi lahan dari hutan pinus menjadi lahan pertanian di bagian atas bukit. Lahan pertanian tersebut banyak ditanami dengan jahe dan empon-empon oleh warga setempat. Konversi lahan ini juga menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya longsor di Dusun Tangkil.

Tanah longsor terjadi karena dua faktor utama yaitu faktor pengontrol dan faktor pemicu. Faktor pengontrol adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi material itu sendiri seperti kondisi geologi, kemiringan lereng, litologi, sesar dan kekar pada batuan. Faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut seperti curah hujan, gempabumi, erosi kaki lereng dan aktivitas manusia (Naryanto, 2013).

Fisiografis lokasi kejadian longsor:

  1. Lokasi kejadian terletak di Dukuh Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, yang termasuk dalam Zona Fisiografi Gunungapi Kuarter (Van Bemmelen 1970)
  2. Lokasi kejadian memiliki kelerengan lereng lebih dari 40 derajat.
  3. Kondisi Litologi batuan jika dilihat dari peta geologi regional (Hartono, U., Baharudin, dan Brata, K., 1992) adalah Morfoset Jeding-Patukbanteng (Qj) – Tersusun oleh lava andesit piroksen, breksi gunungapi, dan sisipan tuf dan batuapung.
  4. Berdasarkan peta landsystem skala 1 : 250.000, jenis  tanahnya  adalah  dari great  group  asosiasi Humytropepts, Dystandepts  dan Hydrandepts. Tanah ini tergolong tanah yang masih muda belum berkembang lebih lanjut, sehingga tanah ini tergolong cukup subur. Sifat sifat tanah ini pada permukaan, kandungan bahan organik tinggi, tekstur lempung berdebu hingga lempung liat berpasir / geluh berdebu, struktur remah, konsistensi gembur hingga teguh.
  5. Kelurusan regional terdapat sekitar 1,7 km ke arah timurlaut dan 4 km ke arah utara dari lokasi longsor. Kelurusan tersebut memiliki orientasi relatif timurlaut-baratdaya (NE-SW).
  6. Sesar regional terdapat sekitar 4,5 km di bagian utara lokasi longsor. Sesar ini merupakan sesar diperkirakan dan memiliki orientasi timurtimurlaut-baratbaratdaya (ENE-WSW).
  7. Gawir terdapat sekitar 1,6 km ke arah dari lokasi longsor. Gawir tersebut membuka ke arah utara.
  8. Ketinggian mahkota longsor adalah 990-1010 meter di atas permukaan laut (dpal).
  9. Lokasi kejadian longsor berbatasan dengan kawasan hutan Petak 115 BKPH Wilis Selatan, KPH Lawu Ds. Petak 115 terdiri dari 4 anak petak kelas hutan Kelas Umur (KU) I sampai IV, dengan kelerengan curam dan sangat curam.
  10. Lokasi longsor berbatasan dengan anak petak 3 seluas 2 Ha masih dalam masa kontrak dengan masyarakat.
  11. Lokasi longsor berada pada Sub sub DAS Keyang, Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo.

Hasil sidik cepat di lapangan menunjukkan bahwa tipologi tanah longsor yang terjadi adalah tipe rotasi di sekitar mahkota longsor, yang kemudian ke arah bawah berkembang menjadi aliran debris akibat material longsoran yang bercampur dengan massa air yang sangat jenuh.

 

Longsor di Dusun Tangkil dipicu oleh beberapa faktor berikut:

  • Perbukitan dengan kemiringan sedang sampai terjal;
  • tanah tebal yang berasal dari pelapukan batuan vulkanik dan mengandung banyak lempung;
  • terdapat lapisan kedap air sebagai bidang gelincir (sliding plate);
  • terbentuknya rekahan batuan di bagian atas mahkota longsor;
  • curah hujan yang sangat ekstrim;
  • terdapat aliran sungai tepat dibawah lereng bukit;
  • dan aktivitas penggunaan lahan untuk pertanian yang cukup intensif dan menyebabkan laju infiltrasi yang tinggi.

 

Lempung merupakan jenis material tanah yang akan mudah mengalami pemburukan sifat ketika terkena air. Pemburukan sifat lempung yang lembek menyebabkan tanah tidak mampu menahan beban di lereng. Sementara itu material tanah lapuk menempel pada material kedap dan resisten air. Air akan mengalami akumulasi pada bagian ini dan terbentuklah bidang gelincir yang selanjutnya diikuti longsoran. Longsoran di Dusun Tangkil mempunyai jenis luncuran debris yang kemudian terubah menjadi aliran debris. Sumber utama material longsor terjadi di atas hingga tengah lereng bukit, kemudian longsor dan mengikuti alur aliran (flow track) ke bawah menuju daerah yang lebih rendah.

 

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, tetapi dari hasil analisis sidik cepat setidaknya ada empat faktor utama penyebab terjadinya tanah longsor yaitu:

  1. terjadinya hujan ekstrim (lebat) selama lima hari berturut-turut sebelum terjadi longsor,
  2. topografi pembentuk tanah longsor sangat terjal dengan kemiringan lereng lebih dari 40 derajat,
  3. Litologi yang berupa tanah (soil) hasil lapukan batuan vulkanik kuarter (lava andesit, breksi vulkanik) yang sangat tebal dan bersifat menyerap air, dan
  4. pemanfaatan lahan (pada bagian sekitar zona longsor) yang intensif dengan tanaman semusim yang meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, mempercepat akumulasi air dan kejenuhan tanah (melebihi kemampuan tanah mengikat air).

 

Rekomendasi aksi lanjut:

  1. Konservasi DAS:
    1. Pengendalian pemanfaatan lahan yang mengganggu kestabilan lereng dan agregat tanah di lokasi rawan longsor.
    2. Penerapan rekayasa vegetatif melalui rehabilitasi lahan dan pemilihan jenis tanaman keras yang memiliki tajuk ringan, perakaran dalam dan akar serabut banyak untuk memperkuat kestabilan lereng dan agregat tanah di permukaan. Jenis-jenis fast growing species dapat menjadi rujukan.
    3. Penerapan rekayasa teknis melalui pembuatan saluran-saluran drainase di bagian lereng untuk mengurangi air permukaan terinfiltasi ke dalam tanah.
    4. Memodifikasi terasering yang sudah terlanjur ada dengan menambah Saluran Pembuangan Air (SPA).
  2. Penataan ruang berbasis Pengurangan resiko Bencana:
    1. Pemetaan daerah-daerah yang memiliki tingkat kerawanan sedang – tinggi, dan melarang seluruh aktivitas pemanfaatan lahannya.
    2. Pengaturan lokasi-lokasi yang boleh dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian intensif, yaitu di daerah yang memiliki tingkat kerawanan rendah.
    3. Penetapan daerah-daerah sempadan sungai dan mataair yang bebas dari aktivitas manusia.
    4. Penetapan kawasan-kawasan pemukiman di lokasi yang tingkat kerawanannya rendah.
    5. Pembuatan Peraturan Desa (Perdes) tentang penataan ruang berbasis PRB.
  3. Edukasi dan budaya kesiapsiagaan:
    1. Edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat melalui berbagai media dan forum (formal dan informal) tentang kebencanaan dan PRB-nya.
    2. Pembentukan Komunitas Masyarakat Tanggap bencana (KMTB).
    3. Pembangunan EWS longsor berbasis komunitas.
    4. Penyediaan sarana dan prasarana komunikasi, jalur evakuasi, barak pengungsian dan pendukung lainnya untuk kesiapsiagaan bencana.

 

Penulis: Hatma Suryatmojo, Arigusantita

Leave a Comment