Menghapus Banjir Jakarta: sesuatu yang mustahil?

Malam tahun baru 2020 disambut dengan gegap gempita di seantero dunia, termasuk di ibukota Jakarta yang merupakan pusat perekonomian dan pemerintahan. Malam itu, hujan sudah mulai turun di wilayah Jabodetabek dan terus berlanjut hingga tanggal 1 Januari 2020 dengan intensitas yang semakin tinggi dalam durasi hujan yang lama. Sangat bisa ditebak, Jakarta pasti Banjir lagi (Gambar 1). Selanjutnya, kita menyaksikan berbagai dampaknya di berbagai media sosial dan media berita, mulai dari korban meninggal, rumah terendam hingga atap, penduduk yang bertahan mengungsi di atap-atap rumah, hingga viralnya mobil-mobil mewah yang terendam dan hanyut dibawa derasnya aliran banjir.

Gambar 1. BNPB dan Peta Bencana mengeluarkan peta daerah yang terdampak banjir Jakarta 2020 (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi) Sumber: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200102145830-199-461882/peta-banjir-jakarta-202

Data BMKG yang disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati kepada detikcom pada Kamis (2/1/2020), Hujan yang mengguyur Jakarta pada 1 Januari 2020 kemarin ternyata memecahkan rekor dalam seperempat abad terakhir. Curah hujan pada 1 Januari 2020 adalah yang tertinggi sejak 1996, menurut data pengamatan cuaca di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur dengan intensitas tertinggi mencapai 377 mm/hari.

Jika dibandingkan dengan histori banjir besar Jakarta dan intensitas hujan harian (sumber BMKG), intensitas tahun 2020 ini memang yang terbesar: 216 mm/hari (1996); 168 mm/hari (2002); 340 mm/hari (2007); 250 mm/hari (2008); 100 mm/hari (2013); 277 mm/hari (2015) dan 150 mm/hari (2016).

Akumulasi hujan berkepanjangan juga berpotensi memicu terjadinya longsor pada daerah-daerah yang memiliki kerawanan terhadap longsor. Salah satunya adalah Kabupaten Banjarnegara yang merupakan wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu dan dikenal sebagai daerah yang memiliki tingkat kerawanan terhadap bencana longsor yang tinggi. Akumulasi hujan selama 3 hari telah memicu kejadian longsor lahan: 74 mm (Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, 2014); 116,4 mm (Desa Clapar, Madukara, 2014); 248 mm (Desa Jemblung, Karangkobar, 2014); 89 mm (Desa Sokaraja, Pagentan, 2015); 151,74 mm (Desa Tempuran, Wanayasa, 2018); dan 119,46 mm (Desa Sikelir, Wanayasa).

Hujan memang menjadi salah satu faktor penting pemicu berbagai bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor lahan. Namun selain hujan, masih terdapat banyak faktor-faktor lingkungan lainnya yang turut berperan dalam mempercepat terjadinya bencana, mulai dari tata ruang, relasi fungsi hulu-hilir DAS, morfometri DAS, penutupan lahan, hingga perilaku sosial budaya masyarakatnya.

Benarkah bencana banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya bisa benar-benar dihilangkan? Bisakan berbagai program revitalisasi dan normalisasi sungai Ciliwung sepanjang 33 km akan benar-benar bisa menghilangkan resiko banjir? Mungkinkah terwujud relasi harmonis antara pengelolaan lahan di wilayah hulu dan hilir DAS Ciliwung terwujud untuk menghilangkan resiko banjir?

 

Sesungguhnya fenomena banjir di Jakarta tidak terlepas dari sejarah banjir dan karakteristik fisik wilayah di DKI Jakarta dan sekitarnya.

 

Sejarah banjir di Jakarta dan sekitarnya sudah tercatat sejak awal pendirian kota Batavia oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1619, Simon Stevin, seorang ahli tata ruang kota ternama dari Belanda diminta oleh Jan Pieterszoon Coen untuk membangun sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang sudah tercatat sering dilanda banjir. Kota Batavia kemudian dibangun dengan sistem pengamanan banjir yang cukup maju, parit-parit yang dilengkapi dengan kanal-kanal di tengah kota dibangun untuk mengantisipasi banjir rutin yang melanda wilayah tersebut, mirip dengan kota Amsterdam di Belanda. Namun, sistem kanal yang modern dijamannya tersebut tidak mampu mengatasi banjir besar yang melanda pada tahun 1872, 1932 dan 1933. Hal ini diperkuat oleh ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jan Sopheluwakan bahwa banjir Jakarta tidak akan dapat diselesaikan dengan sistem kanal saja.

Secara geologis, Jakarta merupakan sebuah cekungan besar banjir, sementara kawasan sebelah utara Jakarta mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Cekungan ini terbentuk dari tanah sedimen muda sangat tebal tetapi belum terkonsolidasi. Akibatnya, secara geologis, tanah di Jakarta perlahan mengalami penurunan. Peneliti dari Universitas Indonesia, Syamsu Rosid, menyatakan berdasarkan hasil penelitian mikro gravitasi empat dimensi (4D) antara tahun 2014-2018, hampir di semua kawasan di Jakarta Utara terindikasi mengalami penurunan permukaan tanah. Laju penurunan rata-rata sekitar 11 sentimeter per tahun, Liputan6.com, Selasa (4/12/2018).

Penurunan permukaan tanah secara alami ini semakin diperparah dengan pengambilan air tanah secara besar-besaran, dan ditambah beban mekanik tanah yang berlebihan akibat pembangunan mega-infrastruktur di wilayah DKI Jakarta. Akibatnya, terjadi proses pemadatan tanah (kompaksi) secara massif yang berakibat menurunkan laju masuknya air ke dalam tanah (infiltrasi). Akibat lanjutannya, terjadilah penurunan permukaan tanah (subsidence) yang juga memicu timbulnya banjir rob di daerah Jakarta Utara. Eksploitasi air tanah yang berlebihan memicu perubahan interface (batas air tawar dan air asin dari laut) bergeser cepat ke arah selatan, sehingga mendorong air laut masuk ke darat lebih jauh (ke arah selatan) dan menyebabkan intrusi air laut sampai ke wilayah Monas di Jakarta Pusat.

Dalam buku The Geology of Indonesia, Van Bemellen (1977) menunjukkan bahwa Kota Jakarta tersusun atas endapan pantai dan endapan volkanik. Proses pembentukan endapan pantai yang secara stratigrafi terhampar di bawah endapan volkanik tersebut salah satunya melalui mekanisme banjir. Aliran sungai yang menggerus lapisan endapan volkanik akan memperlihatkan endapan pantai yang berada di bawahnya. Jika ditelusuri disepanjang aliran sungai, jenis batuannya merupakan endapan pantai, bukan endapan volkanik sebagaimana mayoritas batuan penyusun wilayah Jakarta bagian selatan. Wilayah Jakarta bagian utara tersusun oleh material endapan pantai dan sungai. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dulu, wilayah Jakarta memang sudah merupakan daerah banjir.

Jika dikaji secara geomorfologi, Jakarta juga merupakan dataran banjir (flood plain). Dataran banjir merupakan daerah yang terbentuk akibat proses sedimentasi saat terjadi banjir. Dataran banjir pada umumnya berada di sekitar aliran sungai yang berkelok-kelok (meandering) atau pada titik pertemuan anak sungai dengan aliran sungai utama. Dengan keberadaan 13 aliran sungai yang melintasi Kota Jakarta, maka memang cukup banyak dataran banjir yang tersebar di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, cukup bisa dimaklumi bahwa potensi banjir di wilayah DKI Jakarta memang sangat tinggi (Gambar 2).

Gambar 2. aliran sungai yang melintasi Kota Jakarta Sumber: https://bebasbanjir2025.wordpress.com/konsep-pemerintah/bappeda-dki-jakarta/

Lokasi daerah genangan yang notabene merupakan dataran banjir berada tidak jauh dengan aliran sungai yang berpola meandering atau pada titik pertemuan dua aliran sungai. Jadi, karena secara teori lokasi dataran banjir selalu berasosiasi dengan keberadaan aliran sungai yang berpola meandering, maka dengan 13 aliran sungai yang melintas di Jakarta tentu sudah menjadi konsekuensi logis jika wilayah DKI Jakarta sangat rawan akan potensi banjir, sesuatu yang sudah disadari sejak pembangunan kota Batavia.

Ingatkah kita bahwa setiap nama tempat selalu identik dengan kondisi wilayah yang menjadi pencirinya, Rawa Buaya dan Rawa Jati menunjukkan bahwa daerah tersebut didominasi oleh wilayah yang selalu tergenang (rawa). Secara hidrologis, daerah-daerah cekungan rawa dan situ seperti ini sangat penting perannya sebagai daerah “parkir air” sebelum air tersebut mengalir masuk ke laut. Ketika daerah parkir air tersebut hilang dan berubah menjadi pemukiman, kemana air harus parkir sejenak, mengantri untuk masuk ke laut? Belum lagi dengan fenomena mengecilnya lebar sungai-sungai utama oleh ekspansi pemukiman? Kebutuhan pompa air raksasa untuk memindah banjir dari satu tempat ke tempat lain? Rusaknya fungsi wilayah hulu? Terlalu banyak masalah lingkungan yang harus diselesaikan, hanya untuk mengurangi resiko banjir, bukan menghilangkan resiko banjir.

 

Penutup

Melihat berbagai data dan fakta tersebut, maka membahas bencana Banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) akan selalu terjadi dan menarik dilakukan setiap tahunnya. Berbagai upaya antisipasi dengan berbagai langkah strategis pemerintah dan para pemangku kepentingan mulai dari normalisasi sungai, sudetan sungai, tanggul banjir, bendungan di bagian hulu, pintu-pintu air, membersihkan sampah di sungai, menambah ruang terbuka hijau, program sumur resapan dan biopori, naturalisasi hingga pemulihan fungsi resapan daerah hulu DAS dengan revegetasi, akan selalu mewarnai setiap tahunnya. Namun perlu juga diperhatikan, bahwa secara geologi dan geomorfologi wilayah DKI Jakarta secara alamiah memang merupakan daerah banjir. Selain itu, dengan keberadaan 13 aliran sungai yang melintasi wilayah DKI Jakarta juga menjadi akses utama bagi aliran air permukaan (direct runoff) dari daerah hulu untuk masuk ke wilayah DKI Jakarta. Pembangunan infrastruktur banjir dan upaya konservasi lingkungan dan DAS untuk memperbaiki kondisi daerah tangkapan air (catchment area) yang telah dirusak hanyalah merupakan langkah untuk mengurangi potensi resiko bencana banjir, bukan menghapus resiko banjir. Maka, mengenali wilayah dimana kita tinggal menjadi sesuatu hal yang penting. Terlebih mengenal sebagai warga yang tinggal dalam satuan wilayah yang lebih besar yaitu Daerah Aliran Sungai. Sebagai bagian dari warga DAS, terutama mereka yang tinggal di daerah beresiko banjir harus bersiap dan bersahabat dengan banjir yang akan datang. Pengetahuan akan wilayah-wilayah dengan kerawanan bencana oleh semua masyarakat menjadi hal penting. Kesiapsiagaan menjadi sebuah keharusan untuk semua yang tinggal di daerah rawan bencana. Upaya-upaya pengurangan resiko bencana (PRB) harus terus dilakukan sebagai bagian dari usaha manusia untuk memulihkan lingkungan yang telah dirusak dan mengembalikan “hak” sungai dan air yang telah dirampas.

Ditulis oleh : Hatma Suryatmojo, dosen dan peneliti Lab. Pengelolaan DAS, Fakultas Kehutanan UGM