- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Hutan Bambu sebagai alternatif Konservasi DAS
Saat ini kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan, banyak DAS yang mengalami penurunan kualitas dengan indikasi luasnya lahan kritis, semakin seringnya banjir, kekeringan, tanah longsor dan pencemaran air yang merugikan kehidupan masyarakat dan lingkungan. Diperkirakan banjir dan kekeringan akan terjadi setiap tahun dengan intensitas yang semakin kuat pula. Menurut data KLHK luas lahan kritis di Indonesia pada Tahun 2015 tanpa Propinsi DKI Jakarta adalah 24.303.294 Ha, yang terdiri dari: lahan kritis 19.564.911 Ha dan sangat kritis 4.738.384 Ha. Luasnya lahan kritis tersebut mengindikasikan adanya penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak dari adanya pemanfaatan sumberdaya lahan yang tidak bijaksana dan tidak sesuai dengan aturan yang ada. Lahan yang termasuk didalam kategori lahan kritis akan kehilangan fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro dan retensi karbon.
Salah satu upaya pemulihan kondisi DAS yang kritis adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Kegiatan RHL dilaksanakan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan yang difokuskan pada lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak produktif. RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Tujuan penyelenggaraan RHL adalah menurunnya degradasi hutan dan lahan serta memulihkan lahan-lahan rusak/kritis agar dapat berfungsi sebagai media produksi dan media tata air.
Kegiatan RHL yang dilakukan oleh KLHK menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat didorong untuk lebih aktif dalam kegiatan RHL melalui kelompok tani maupun kelompok masyarakat. Kelompok tersebut dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pemeliharaannya. Konsep pemberdayaan tersebut dirasa cukup baik dalam mendukung upaya keberhasilan kegiatan RHL itu sendiri. Masyarakat mempunyai rasa memiliki dan kepedulian yang lebih terhadap apa yang sudah dilakukannya, seluruh hasil yang didapatkan dari RHL baik kayu maupun non kayu sepenuhnya menjadi milik masyarakat.
Di dalam sistem penyelenggaraan RHL oleh masyarakat tersebut, sayangnya pemilihan jenis bibit pohon lebih banyak didasarkan pada fungsi dan manfaat ekonominya sedangkan fungsi ekologi dalam konservasi tanah dan air belum terlalu diperhatikan. Kondisi tersebut menghasilkan mayoritas bibit tanaman yang bersifat fast growing dan periode panen yang tidak terlalu lama. Fenomena ini dikhawatirkan memberi dampak pada sisi ekologi, karena mayoritas tanaman dipanen secara serentak sehingga terdapat jeda yang cukup lama pada presentase tutupan lahan kembali seperti semula. Dari kekhawatiran inilah, maka para penentu kebijakan dihadapkan pada tantangan untuk dapat menawarkan alternatif pilihan jenis tanaman yang dapat mendorong perekonomian masyarakat sekaligus mendukung keberlanjutan lingkungannya sebagai tujuan akhir dari kegiatan RHL itu sendiri.
Salah satu jenis tanaman yang saat ini dikembangkan oleh KLHK adalah bambu. Pengembangan tanaman bambu dilakukan melalui pembuatan areal model Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Proporsi penanaman bambu melalui kegiatan HHBK tersebut sangat tidak sebanding dengan kegiatan RHL lainnya seperti Kebun Bibit Rakyat (KBR) atau Program Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (PPMPBK), dimana pada kdua program tersebut penanaman bambu sangat minim dilakukan karena masyarakat lebih senang menanam Sengon, Jabon atau tanaman cepat tumbuh dan cepat panen lainnya. Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Brantas mencatat bahwa selama periode 2010-2015 dari kegiatan KBR saja di wilayah kerja BPDAS Brantas telah tertanam bibit Sengon (Paraserianthes falcataria) sebanyak 34.429.937 batang (44,19%) dari total 77.920.353 batang bibit RHL yang telah tertanam.
Dari fakta-fakta di atas, kita dapat melihat penggunaan bambu sebagai salah satu tanaman rehabilitasi belum cukup menarik minat bagi masyarakat. Secara umum pemanfaatan tanaman bambu mencakup sisi ekonomi, sosial budaya maupun ekologi. Peran bambu dalam sektor ekonomi dapat dilihat secara kasat mata, dimana masyarakat terutama di pedesaan telah terbiasa memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan, peralatan rumah tangga, bahan makanan maupun pemanfaatan lainnya. Secara sosial budaya, bambu merupakan bagian dalam kegiatan seni maupun adat istiadat masyarakat di Indonesia. Pengembangan bambu juga mampu untuk menumbuhkan industri kreatif sehingga dapat menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, mencegah urbanisasi serta mendorong pengembangan pariwisata.
Yang terakhir manfaat bambu dalam sisi ekologi yang belum banyak dikembangkan terutama dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis. Banyak tulisan yang mencatat bahwa dari segi ekologi, bambu dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat air dan tanah. Tanaman bambu yang rapat dapat mengikat tanah pada daerah lereng, sehingga berfungsi mengurangi erosi, sedimentasi dan longsor. Tanaman bambu juga mampu menyerap air hujan yang cukup besar melalui mekanisme intersepsi, sehingga kemungkinan terjadinya aliran langsung dan erosi di atas permukaan lahan dengan dominasi bambu menjadi kecil. Sementara itu, dalam kaitan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, pengembangan tanaman bambu juga dapat meningkatkan penyerapan karbon. Dari suatu penelitian, tanaman bambu dapat menyerap lebih dari 62 ton/Ha/tahun karbon dioksida).
Tanaman bambu berpotensi menjadi solusi alternatif bagi sejumlah permasalahan lingkungan. Menurut Widjaja (2004), cepatnya pertumbuhan bambu dibanding dengan pohon kayu, membuat bambu dapat diunggulkan untuk mengurangi permasalahan deforestasi. Dengan fakta-fakta banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari tanaman bambu tersebut, sudah selayaknya bambu dijadikan sebagai alternatif jenis tanaman untuk kegiatan RHL. Diharapkan melalui penanaman bambu dapat diperoleh manfaat yang seimbang antara sisi ekonomi dan sisi ekologinya.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya meningkatkan minat masyarakat untuk menanam bambu antara lain dengan sosialisasi masiv manfaat bambu sehingga kesan bambu sebagai tanaman angker dan sarang ular dapat dikalahkan oleh ‘branding’ bambu sebagai tanaman serba guna yang hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Lebih lanjut penyadaran kepada masyarakat dalam perspektif konservasi tanah dan air melalui pemanfaatan bambu juga terus dilaksanakan melalui pembuatan areal model rehabilitasi untuk upaya konservasi lahan miring yang rawan longsor dan lahan kritis. Kelak apabila langkah-langkah tersebut dapat dilakukan, dengan sendirinya masyarakat akan tergerak untuk menanam bambu dan sekaligus berpartisipasi dalam upaya mengurangi deforestrasi dan degradasi hutan.
Kontributor: Imam Sulistianto
Mas Imam yang baik. tulisan yang menarik, mengangkat mengenai bambu. berarti bambu ini ada dua arah nih ya, manfaat ekonomi dan manfaat ekologis ya. walaupun secara sosial masih belum populer. mau tanya, dari referensi Wijaya 2004, apakah disebtkan seberapa cepat bambu tumbuh menjadi dewasa dibandingkan dengan pohon berkayu lainnya? apakah ada hasil penelitian seberapa efektif bambu dalam mengurangi dampak buruk, misalnya mengurangi laju run-off air hujan-mengurangi erosi dan longsor? seberapa efektif bambu untuk ditanam di lahan kritis? dan yang terpenting apakah ada update terkini seberapa CO2 bisa diserap dari tnaman bambu per km2 dengan studi kasus di Jawa misalanya dengan kondisi iklim saat ini?
terimakasih banyak mas Imam…
Setuju, kami penggiat bambu sangat mendukung bila kegiatan ini bisa berjalan.