Respon Hidrologi DAS Mikro Jemblung Banjarnegara, Jawa Tengah

Suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki komponen fisik dan biotik yang saling berhubungan. Hubungan antar komponen fisik dan biotik ini akan memengaruhi siklus hidrologi yang ada dalam suatu DAS. Menurut Asdak (2010), siklus hidrologi adalah perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer lalu ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut. Komponen fisik yang ada dalam suatu DAS dapat berupa iklim, morfometri DAS, serta kondisi lingkungan (kelerengan dan jenis tanah). Selain komponen fisik, terdapat komponen biotik yang juga dapat memengaruhi siklus hidrologi yaitu manusia serta vegetasi yang ada di dalam DAS. Komponen biotik ini cenderung lebih rentan untuk mengalami perubahan. Hal ini dapat terjadi akibat adanya peningkatan kebutuhan manusia. Perubahan yang terjadi pada setiap faktor dari proses hidrologi akan memengaruhi output DAS (debit aliran, debit suspensi). Siklus hidrologi air tergantung pada proses evaporasi dan presipitasi. Air yang terdapat di permukaan bumi berubah menjadi uap air di lapisan atmosfer melalui proses evaporasi (penguapan); serta proses transpirasi atau penguapan air oleh tanaman (Asdak, 2010).

DAS Mikro Jemblung merupakan Daerah Aliran Sungai yang terletak di Kabupaten Banjarnegara. DAS Mikro Jemblung memiliki cakupan kawasan meliputi 2 kecamatan yaitu Kecamatan Karangkobar dan Kecamatan Wanayasa serta 8 desa yaitu Desa Karangkobar, Slatri, Ambal, Sampang, Leksana, Pesantren, Kubang, dan Binangun. Dari delapan desa tersebut, Desa Karangkobar merupakan desa yang memiliki luas paling besar di kawasan DAS Mikro Jemblung, sedangkan Desa Slatri merupakan desa yang memiliki luas paling kecil. Pada akhir tahun 2014, tepatnya pada tanggal 12 Desember 2014 terjadi bencana tanah longsor yang menimbun satu desa (Gambar 1), yaitu Desa Jemblung, bahkan Stasiun Pengamatan Aliran Sungai milik BPDAS HL Serayu Opak Progo juga hilang tertimbun longsoran tanah.

Sumber: http://nasional.kompas.com/

Gambar 1. Lokasi Longsor Di Desa Jemblung, DAS Mikro Jemblung

DAS Mikro Jemblung memiliki morfometri berupa luas DAS sebesar 1046,59 ha dengan lebar DAS adalah 3,5 km. Bentuk DAS ini memanjang dengan keliling DAS Mikro Jemblung 17,10 km. Panjang sungai utama di DAS Mikro Jemblung yaitu 2,99 km dan panjang total sungai yaitu 40,94 km, sedangkan untuk kerapatan drainase DAS Mikro Jemblung adalah sebesar 3,91 km/km2.

Dari segi iklim, kawasan DAS Mikro Jemblung menurut tipe iklim Schmidt dan Ferguson memiliki iklim tipe B (Basah). Kelerengan di DAS Mikro Jemblung didominasi dengan kelas kelerengan IV (25%–45%) serta jenis tanah Latosol. Penggunaan lahan di DAS Mikro Jemblung meliputi penggunaan lahan berupa permukiman, tegalan, kebun, sawah irigasi, dan rumput. Dari kelima penggunaan lahan tersebut, penggunaan lahan tegalan dan kebun adalah yang paling mendominasi di DAS Mikro Jemblung (86,31%) (Gambar 2).

   

Gambar 2. Kondisi Tegalan dan Kebun Di DAS Mikro Jemblung

Selama bulan November 2015 hingga Juli 2016 hujan yang terjadi di DAS Mikro Jemblung 38,18% didominasi oleh hujan ringan, 32,73% oleh hujan sedang, dan sisanya 29,09% oleh hujan lebat. Adapun intensitas hujan terendah yang terjadi adalah sebesar 1,62 mm/jam, dan intensitas hujan tertinggi sebesar 36,69 mm/jam. Untuk mengetahui respon DAS Mikro Jemblung dengan input hujan antara 1,62 mm/jam hingga 36,69 mm/jam tersebut dapat dilihat melalui debit aliran serta debit suspensi.

Data debit aliran yang diperoleh selama penelitian dapat digunakan untuh menghitung debit suspensi puncak serta koefisien aliran langsung. Dua hal tersebut dapat dijadikan sebagai acuan apakah suatu DAS mengalami gangguan. Nilai debit puncak spesifik yang diperoleh mulai bulan November 2015 hingga Juli 2016 berkisar antara 0,05 m3/detik/km2–0,67 m3/detik/km2. Berdasarkan dari penetapan kriteria debit puncak spesifik menurut Kunkle (1976) dalam Suryatmojo (2007) menunjukkan bahwa debit puncak spesifik di DAS Mikro Jemblung tergolong dalam kriteria yang sangat baik karena debit puncak yang dihasilkan oleh DAS Mikro Jemblung dengan luasan 10,46 km2 masih dibawah 0,87 m3/detik/km2. Hasil penelitian Mulyaningsih (2015) juga menunjukkan bahwa debit puncak spesifik DAS Mikro Jemblung dari tahun 2006-2013 termasuk ke dalam kriteria sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa DAS Mikro Jemblung masih dapat menjalankan fungsi hidrologi dengan baik.

Selain debit puncak, hal lain yang dapat diketahui dari data debit aliran adalah nilai koefisien aliran langsung (C%). Koefisien aliran langsung adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara tebal aliran langsung dengan tebal hujan (Asdak, 2010). Nilai dari C% dapat menjadi salah satu indikator apakah suatu DAS mengalami gangguan. Nilai C% yang semakin besar menunjukkan bahwa suatu DAS mengalami gangguan, karena hal ini berarti bahwa air hujan yang menjadi aliran langsung juga semakin besar. Semakin besar nilai aliran langsung maka resiko terjadinya erosi dan banjir akan semakin tinggi. Dari bulan November 2015 hingga Juli 2016 diketahui bahwa nilai C% tertinggi yang terjadi di DAS MIkro Jemblung adalah sebesar 6,87%, yang berarti bahwa 6,87% air hujan yang jatuh menjadi limpasan langsung. Berdasarkan klasifikasi koefisien aliran langsung yang dibuat oleh Peraturan Dirjen RLPS P.04/V-SET/2009, DAS Mikro Jemblung tergolong dalam kategori baik, karena nilai C% di bawah 25%. Rendahnya nilai C% menunjukkan bahwa gangguan yang terjadi di DAS Mikro Jemblung tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan rehabilitasi lahan pasca longsor di kawasan DAS Mikro Jemblung (Gambar 3).

        

Gambar 3. Lokasi Kegiatan Pemeliharaan Pascalongsor dan Desa Konservasi DAS di DAS Mikro Jemblung
Indeks bahaya erosi adalah suatu nilai yang digunakan untuk memberikan informasi terkait sejauh mana erosi yang terjadi akan membahayakan produktivitas tanah di suatu kawasan. Perhitungan indeks bahaya erosi menggunakan data erosi potensial atau erosi yang terjadi dengan membandingan nilai erosi yang diperbolehkan. Dari perbandingan tersebut didapatkan nilai yang kemudian dimasukkan dalam kategori indeks bahaya erosi. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, DAS Mikro Jemblung memiliki nilai erosi potensial sebesar 33,37 ton/ha/tahun dan erosi yang diperbolehkan sebesar 23,75 ton/ha/tahun, sehingga nilai indeks bahaya erosi yang didapat yaitu sebesar 1,40 ton/ha/tahun dan masuk dalam kategori sedang menurut. Hammer (1981) dalam Arsyad (2010).Selain dilihat dari nilai debit puncak spesifik dan koefisien aliran langsung, respon DAS Mikro Jemblung dapat diketahui pula dari nilai debit suspensinya. Setelah debit suspensi diketahui, maka hasilnya dapat digunakan untuk menghitung berat sedimen yang ada di DAS Mikro Jemblung. Berat sedimen yang berada di kawasan DAS Mikro Jemblung selama bulan November 2015 hingga Juli 2016 adalah sebesar 22,24 ton/ha. Untuk prediksi erosi tahunan adalah 33,37 ton/ha/tahun. Dari hasil perhitungan erosi selama setahun yang berasal dari perhitungan lapangan dan juga prediksi menggunakan lengkung hubungan erosi dan curah hujan dapat diketahui nilai indeks bahaya erosi.

Rendahnya nilai debit puncak spesifik, koefisien aliran langsung, dan indeks bahaya erosi membuktikan bahwa gangguan yang terjadi di DAS Mikro Jemblung tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena kondisi DAS Mikro Jemblung yang masih banyak didominasi oleh tutupan vegetasi. Vegetasi adalah faktor yang memiliki peranan penting dalam siklus hidrologi. Adanya vegetasi dalam suatu DAS dapat berfungsi sebagai penghalang tanah dari pukulan air hujan melalui proses intersepsi (throughfall, stem flow) sehingga daya erosivitas hujan untuk mengerosi tanah menjadi turun (Arsyad, 2010).

Peran vegetasi di DAS Mikro Jemblung dibuktikan dengan perhitungan nilai intersepsi. Intersepsi air hujan (rainfall interception loss) adalah proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat, untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan (Asdak, 2010). Oleh karena itu adanya vegetasi bermanfaat untuk mengurangi kandungan air yang tersimpan di dalam tanah, sehingga secara tidaklangsung juga dapat mengurangi resiko untuk terjadinya longsor. Pada DAS Mikro Jemblung dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar nilai intersepsi yang terjadi. Peletakkan plot intersepsi berada di dua lahan dengan kondisi vegetasi yang berbeda, yaitu di lahan dengan komposisi campuran antara sengon-salak, dan lahan dengan komposisi campuran sengon-kopi. Kedua lokasi tersebut dipilih karena komposisi vegetasi yang mendominasi di DAS Mikro Jemblung adalah perkebunan dengan kombinasi antara sengon-salak dan sengon-kopi. Dari hasil penelitian yang dilakukan selama bulan November 2015 hingga Juli 2016, dengan intensitas hujan sebesar 1,62 mm/jam hingga 36,69 mm/jam diketahui air hujan yang terserap oleh intersepsi pada lahan dengan komposisi vegetasi sengon-salak adalah sebesar 0,367%–51,29% dari seluruh total tebal hujan, sedangkan pada lahan dengan komposisi vegetasi sengon-kopi air hujan yang terserap oleh intersepsi adalah sebesar 5,59%–58,03% dari seluruh total tebal hujan.

Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa peran vegetasi di DAS Mikro Jemblung sudah berjalan dengan baik jika dilihat dari nilai intersepsi dan output yang terjadi. Namun rendahnya nilai output baik berupa aliran langsung dan erosi tersebut disebabkan karena input (hujan) yang juga relatif rendah. Oleh karena itu kelestarian vegetasi yang ada di DAS Mikro Jemblung harus tetap dijaga dan diiringi dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang baik. Mengingat bahwa DAS Mikro Jemblung adalah salah satu lokasi yang memiliki tingkat kerawanan longsor yang tinggi, maka penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat perlu untuk dilakukan, salah satunya adalah dengan membuat saluran pembuangan air (SPA). Adanya saluran ini berfungsi untuk mengurangi jumlah air yang terkandung di dalam tanah, sehingga beban tanah dapat berkurang dan resiko terjadinya longsor juga berkurang.

Referensi:

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor.

Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mulyaningsih, T. 2015. Perubahan Karakteristik Hidrologi Catchment Area Sampang Sub DAS Merawu Kabuupaten Banjarnegara. Skripsi UGM, Yogyakarta.

Suryatmojo, H. 2007. Respon Daerah Aliran Sungai Terhadap Hujan (Studi Kasus pada Sub DAS Hutan Pinus dan Sub DAS Hutan Campuran di Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah). Tesis Program Studi Geografi Fisik Kelompok Bidang Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kontributor:

Hasil Penelitian Arigusantita, Fifi Fauruzi, dan Nurul Hidayah.

COMMENTS

Leave a Comment