- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Agroforestri, alternatif solusi pertanian berkelanjutan
DAS Serayu merupakan salah satu dari 15 DAS yang dikategorikan sebagai daerah aliran sungai priortas menurut Rencana Strategis Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Tahun 2015-2019. Daerah Tangkapan Air (DTA) Tamansari atau sering dinamakan Catchment Area merupakan salah satu daerah tangkapan air yang berada Sub DAS Merawu Hulu dan juga Sub DAS Merawu Hulu merupakan bagian dari DAS Serayu. Daerah Tangkapan Air (DTA) Tamansari memiliki luasan 16,39 ha. Secara administrasi, DTA Tamansari berada di Desa Leksana, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Daerah Tangkapan Air (DTA) Tamansari berada pada daerah perbukitan dengan ketinggian1.150-1.250 meter diatas permukaan laut.
Karena berada pada daerah perbukitan, DTA Tamansari memiliki beragam kelas kelerengan dari kelas klasifikasi datar hingga sangat curam. Dapat dihitung bahwa DTA Tamansari didominasi oleh kelas kelerengan klasifikasi curam dengan luasan 71.969,42 m2. Dengan kelas kelerengan curam ini dapat dideskripsikan bahwa aliran permukaan akan besar dan cepat terjadi yang disebabkan oleh hujan yang jatuh di DTA Tamansari. Dikarenakan berada daerah perbukitan dengan ketinggian 1.150-1.250 meter diatas permukaan laut, curah hujan yang jatuh pada lokasi tersebut berkisar antara 2.937 mm – 3.810,5 m. Dari berbagai kelas kelerengan yang terdapat pada DTA Tamansari, dapat diperhatikan bahwa jenis tanah yang dimiliki juga sama yaitu Reddish Dark Brown Latosol atau sering dinamakan Latosol. Tanah latosol ini sering dijumpai di daerah perbukitan karena berasal dari batuan vulkanik. Daerah Tangkapan Air (DTA) Tamansari memiliki penggunaan lahan agroforestri. Agroforestri merupakan perpaduan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Namun, masyarakat yang menggunakan lahan di DTA Tamansari lebih mementingkan tanaman pertanian dalam pengelolaannya, seperti pertanian intensif. Sehingga, dari keberadaan tanaman kehutanan yang minimal menghasilkan kemampuan tanaman kehutanan yang kurang optimal.
Foto udara yang didapat, dapat diketahui bahwa luasan dari DTA Tamansari yang dijadikan lahan agroforestri seluas 14,53 ha atau memiliki nilai persentase 88,67% dari total luasan DTA Tamansari. Terlihat juga dari foto udara yaitu terdapat lahan terbuka yang dipersiapkan petani untuk lahan pertanian. Pola-pola agroforestri pada Daerah Tangkapan Air (DTA) Tamansari memiliki 3 pola yaitu Trees Along Border, Random Mixture, dan Alley Cropping. Dengan keadaan DTA Tamansari yang sudah dijelaskan, kegiatan penelitian dilakukan untuk menghitung besaran sedimen yaitu sedimen suspensi dan sedimen dasar yang terjadi pada Daerah Tangkapan Air (DTA) Tamansari.
Kegiatan penelitian yang dilakukan dari 11 Oktober 2017 sampai dengan 8 April 2018 menghasilkan besaran sedimen suspensi sebesar 23,73 ton/ha serta besaran sedimen dasar sebesar 1,6 m3/ha atau kehilangan tanah sebesar 0,1603 mm/ha. Yang membedakan antara sedimen suspensi dan sedimen dasar adalah materialnya. Untuk sedimen suspensi adalah sedimen yang melayang di air, sedangkan sedimen dasar adalah sedimen yang menggelinding atau merayap di dasar sungai. Besaran sedimen suspensi dan sedimen dasar yang dihasilkan oleh DTA Tamansari merupakan akibat dari keadaan DTA Tamansari dan kegiatan manusia didalamnya. Besaran sedimen yang dihasilkan tersebut dapat dikurangi dengan adanya perbaikan lahan dan evaluasi kegiatan agroforestri. Hal tersebut perlu dilakukan karena keadaan lingkungan DTA Tamansari yang sangat mendukung terjadinya sedimen yang besar. Hal ini bisa dilihat dari faktor-faktor terjadinya sedimen, yaitu iklim, vegetasi, tanah, topografi, dan manusia.
Pada dasarnya , kegiatan agroforestri lebih baik daripada kegiatan pertanian. Hal ini diperhatikan dari sisi keberadaan vegetasi yang bervariasi dan stratum yang dimiliki juga bervariasi. Namun, keberadaan agroforestri yang kurang optimal dapat menjadi bumerang bagi kehidupan manusia apabila tidak diperhatikannya aspek faktor-faktor terjadinya sedimen. Dampak buruk yang mungkin terjadi oleh keberadaan agroforestri yang kurang optimal yaitu berkurangnya tanah di daerah tersebut, pendangkalan sungai akibat erosi, penurunan kualitas air, serta yang paling besar adalah terjadinya longsor. Oleh sebab itu, pentingnya pemahaman mengenai faktor-faktor terjadinya sedimen untuk keberlanjutan fungsi dari lahan untuk kehidupan sehari-hari.
Kontributor : Fajar Buana Ginting
Editor : Heni P Astuti