- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Peran Penting Integrasi Stakeholder dalam Pengelolaan DAS Bengawan Solo
Tidak dapat dipungkiri bahwa DAS Bengawan Solo masih menghadapi permasalahan yang komplek hingga saat ini. Jumlah penduduk yang padat serta ketidakserasian penataan ruang menjadi salah satu akar pemicu permasalahan. Orientasi penataan lahan yang dilakukan masih belum berdasarkan perlindungan lingkungan, namun masih pada batas administrasi wilayah. Ketidakserasian penataan ruang juga akan berpotensi mempercepat degradasi sumberdaya pada kawasan DAS serta memicu terjadinya bencana. Tumpang tindih kepentingan akan selalu terjadi apabila pemanfaatan lahan masih belum memperhatikan kesesuaian fisik lahan.
Beberapa dampak yang muncul atas permasalahan yang terjadi di DAS Bengawan Solo seperti banjir, kekeringan, kerusakan hutan, tanah longsor serta pencemaran air. Sebesar 61,02% dari total luas wilayah Sub DAS Dengkeng , bagian hulu DAS Bengawan Solo masuk pada kawasan sangat rawan terhadap bencana banjir. (Ratnasari dan Kusumandari, 2017) Analisis indeks kekritisan air (IKA) wilayah DAS Bengawan Solo mulai mendekati krisis air dengan nilai rerata 49,3%-69,8% (Popi, 2014). Tingkat kekritisan air domestik mendekati kategori sangat kritis, sehingga diperlukan adanya konservasi terhadap sumberdaya air kawasan. Pada kawasan hulu DAS Bengawan Solo tepatnya di Sub DAS Samin terdapat sebaran lahan kritis yang diakibatkan oleh cepatnya laju deforestasi hutan. Berdasarkan hasil penelitian Aprilia dan Taryono pada tahun 2017 di Sub DAS SaminĀ menyebutkan bahwa sebaran lahan dengan potensi kritis hampir mencapai 1.349.989 ha, area agak kritis 898,521 ha, dan kelas kritis sebesar 23,051 hektar. Selanjutnya, bencana tanah longsor juga kerap kali terjadi pada Sub DAS Jlantah Walikum , Keduang, dan Sub DAS Mungkung dengan intensitas kerawanan tinggi (Alif, Noor Anna dkk, 2018). Kondisi sungai Bengawan Solo pada saat ini juga telah menunjukan penurunan kualitas air dan tercemar berat (Satriyawan dkk, 2018).
DAS Bengawan Solo melewati berbagai wilayah administrasi yang pada setiap wilayah memiliki hak otonomi daerahnya masing-masing. Diperlukan adanya integrasi terpadu pengelolaan DAS Bengawan Solo berdasarkan pertimbangan aspek sosial-ekonomi-ekologi demi mewujukan pengurangan risiko bencana. BPDAS perlu bekerja sama dengan para stakeholder untuk melakukan koordinasi dalam pengelolaan DAS baik jangka pendek maupun Panjang. Stakeholder yang dapat dilibatkan antara lain BPDAS yang berperan dalam Menyusun pengelolaan DAS dan rehabilitasi lahan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berperan menyusun kebijakan bersama BPDAS, BPSDA berperan menyusun kebijakan bidang konservasi sumberdaya air, Bappeda sebagai pembuat rencana pembangunan daerah dan optimalisasi pembangunan, serta tentunya perlibatan aktif masyarakat sebagai control kegiatan pelaksanaan pengelolaan DAS. Strategi yang dapat dilakukan atas permasalahan ketidaksesuaian penataan ruang di DAS Bengawan Solo meliputi : (i) optimalisasi hasil tata ruang yang telah dilakukan, (ii) mengurangi konflik pemanfaatan ruang, danĀ (iii) memberikan sanksi terhadap pelanggar ijin tata ruang. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam mengelola suatu DAS tidak bisa dilakukan hanya dengan pertimbangan batas administrasi saja, namun perlu adanya integrasi berbagai stakeholder mulai dari bagian hulu hingga hilir agar pengelolaan DAS Bengawan Solo dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat untuk masyarakat dan lingkungan.
Penulis : Paras Marcella
Editor : Heni Puji Astuti