- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Respon Tinggi Muka Air berbagai Tutupan di Lahan Gambut, Riau
Ekosistem rawa gambut merupakan salah satu prioritas penanganan bagi pemerintah Indonesia. Setelah kebakaran besar tahun 2015, pemerintah mulai berupaya merestorasi lahan rawa gambut yagn bermasalah dengan mengeluarkan PeraturanPemerintah No 57 Tahun 2016. PP tersebut merupakan revisi dari PP No 71 Tahun 2014 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Rawa Gambut. Beberapa upaya yang telah dilakukan dari tahun 2015 hinga 2017 mampu menurunkan laju kebakaran lahan gambut atas kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan perusahaan swasta seperti membuat sekat kanal, sumur bor, dan embung do kawasan tersebut. Salah satu pasal dalam PP No 57 Tahun 2017 menyebutkan bahwa tinggi muka air tanah yang lebih dari 40 cm dibawah permukaan gambut dapat menyebabkan kerusakan fungsi budidaya. Namun penetapan peraturan ini masih banyak mengalami pertentangan karena dianggap tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat dan hanya didukung oleh segelintir akademisi.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Laboratorium Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Fakultas Kehutanan UGM tergerak untuk melakukan penelitian mengenai dinamika Tinggi Muka Air di beberapa tutupan lahan gambut. Pengamatan ini bertujuan untuk mngetahui respon kenaikan tinggi muka air saat terjadi hujan sehingga dapat diketahui cara pengelolaan yang efektif dan efisien untuk masing masing lokasi. Adapun tutupan lahan gambut yang diteliti terdiri atas hutan alam, lahan bekas kebakaran, dan kebun campur. Lokasi hutan alam berada di Taman Nasional Zamrud, sedangkan lahan bekas kebakaran dan kebun campur berada di Desa Rawa Mekar Jaya Kecamatan Sungai Apit.
Penelitian ini berlangsung sejak Februari 2018 hingga November 2018 dengan 3 kali penelitian di lokasi secara langsung yaitu yang pertama pemasangan alat pada 8 – 10 Maret 2018, kemudian penelitian kedua untuk pengunduhan data pertama pada 3 – 4 Juli 2018, dan penelitian ketiga juga dilakukan pengunduhan data kedua pada 8 – 11 November 2018.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada lahan bekas kebakaran dan kebun campur terjadi perubahan karakteristik tanah berupa peningkatan nilai Bulk Density, penurunan kemampuan gambut menyerap air, dan penurunan porositas tanah yang menyebabkan penggenangan air di atas permukaan tanah saat hujan. Hasil ini dilihat dari perbandingan yang didapat dari perbandingan 2 lokasi tersebut dengan kondisi lahan gambut yang berada di hutan primer Taman Nasional Zamrud yang masih memiliki kondisi hidrologis serta ekosistem yang terjaga dan belum mendapatkan banyak perlakuan oleh aktivitas manusia. Selain itu, tebal hujan memiliki hubungan positif dengan besaran kenaikan tinggi muka air tanah gambut dengan nilai R2 di lokasi bekas kebakaran 0,8069 ; nilai R2 di kebun campur 0,7985 ; dan nilai R2 di lokasi hutan primer 0,7630. Artinya pada ketiga lokasi, tebal hujan memiliki rerata hubungan positif sebesar 77 % dalam peningkatan kenaikan tinggi muka air tanah sedangkan 23 persennya berasal dari faktor lain.
Solusi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kondisi tinggi muka air tanah gambut yang optimal untuk ekosistem gambut ialah pada lahan bekas kebakaran dan kebun campur perlu dilakukan perbaikan tata air dengan berbagai cara seperti membangun sekat kanal dan embung atau kolam penampungan air secara sederhana. Selain itu juga perlu melakukan normalisasi kanal di lahan-lahan bekas terbakar pada areal rawa gambut milik masyarakat. Sekat kanal dapat dilengkapi dengan pintu air sehingga saat musim penghujan pintu air dibuka untuk menampung air sebanyak banyaknya agar masuk ke lahan dan mengisi kanal, sebaliknya saat musim kemarau pintu air ditutup supaya air tetap tersimpan di kanal sehingga lahan tetap basah karena muka air terjaga. Selain itu guna memperbaiki ekosistem yang telah rusak dapat dilakukan penanaman jenis tanaman lokal dengan tujuan untuk mempercepat proses pemulihan ekosistem. Jenis tanaman yang dipilih adalah jenis tanaman yang adaptif terhadap rawa gambut dan termasuk jenis kayu komersial seperti jelutung (Dyera lowii), meranti (Shorea spp.), ramin (Gonystylus bancanus), balam (Palaquium sumatranum), bintangur (Calopyllum lowii) dicampur dengan tanaman buah-buahan seperti durian, mangga, rambutan, atau sagu menggunakan teknik agroforestri. Tanaman nanas yang menjadi komoditas masyarakat sekitar juga dapat dikembangkan sebagai tanaman sekat bakar untuk menghindari menjalarnya api lebih meluas ketika terjadi kebakaran lagi di lingkungan sekitar mereka.
Kontributor : Dian Maulik Saputra & Ahmad Arfri
Editor : Heni P Astuti