DAS Kao Halmahera Utara, Minimarket Bencana Sumberdaya Air

Wilayah Halmahera Utara termasuk wilayah yang memiliki potensi besar khususnya sumberdaya air sehingga saat ini dijadikan kawasan wilayah pengembangan strategis (WPS) nasional. Sejalan dengan pencapaian target program SDGs, wilayah Halmahera Utara mempunyai target mencukupi kebutuhan air bersih sebesar 100% pada tahun 2030. Seiring dengan munculnya perubahan iklim global yang masih menjadi isu hangat saat ini, wilayah Halmahera Utara menjadi salah satu wilayah terdampak dari perubahan tersebut. Dampak yang dirasakan antara lain perubahan curah hujan, peningkatan penguapan, perubahan besar debit aliran permukaan yang menyebabkan perubahan pada laju infiltrasi ke dalam tanah, kenaikan muka air laut yang berdampak terhadap pasokan air tawar, peningkatan tekanan terhadap pasokan air yang sudah berkurang, serta kerap pula mengalami bencana banjir (BWS Maluku, 2016). Air baku yang digunakan di wilayah DAS Halmahera Utara bersumber dari sungai, danau, waduk, mata air dan air tanah dengan total volume air bersih yang digunakan sebanyak 17.08 juta m3. Ketersediaan air bersih pada wilayah ini mulai terdegradasi sejak kejadian banjir yang kerap kali mendatangi kawasan.

Terdapat sekitar 36.520 hektar daerah di wilayah Halmahera utara berisiko banjir. DAS Kao Halmahera Utara menjadi salah satu DAS yang sering didatangi bencana banjir kawasan karena latarbelakang kondisinya yang memang sudah mengalami perubahan penutupan lahan, dan didukung dengan peningkatan jumlah penduduk serta berbagai aktivitas pemanfaatan lahan. Kejadian banjir memang sering kali dikaitkan erat dengan curah hujan harian, penggunaan lahan, dan perubahan proses hidrologi kawasan (Suryatmojo, 2017). Apabila dilihat dari kondisi penutupan lahannya, 2/3 wilayah DAS Kao merupakan hutan sekunder dan seperempatnya sudah menjadi lahan pertanian. Perubahan penutupan lahan memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan sehingga akan meningkatkan run off dan debit sungai yang berdampak pada terjadinya banjir (Nugroho et al., 2013). Kondisi kemiringan pada beberapa wilayah yang hampir mencapai 75% dengan jenis tanah yang kurang dapat menyerap air menjadi salah satu faktor rawannya bencana banjir. Secara historis, sebagian besar wilayah DAS Kao merupakan areal bekas konsesi perusahaan kayu sejak tahun 80-an dan juga mempunyai riwayat kebakaran berulang. Terdapat beberapa desa yang selalu menjadi langganan banjir setiap tahunnya seperti Desa Ngoali (Sub DAS Ngoali), Desa Momoda (Sub DAS Momoda), Desa Popon, Sasur, Tuguis, Parseba, Soamaetek dan Bailengit (Sub DAS Ake Guis) dan Desa Wonosari (Sub DAS Ngabengan).

Banjir yang kerap kali datang setiap tahun ini menyebabkan kerugian harta benda masyarakat, kerusakan infrastruktur, dan terendamnya lahan-lahan pertanian. Wilayah DAS Kao Halmahera Utara merupakan daerah transmigrasi, sehingga latarbelakang paling utama indikasi penyebab banjir adalah pembukaan lahan baru secara masiv pada awal mula program transmigrasi. Kondisi yang demikian menjadi tolak awal kemunculan permasalahan di DAS Kao, satu diantaranya permasalahan banjir. Mengingat pengelolaan sumberdaya air merupakan masalah yang kompleks dan melibatkan semua pihak sebagai pengguna, pemanfaat maupun pengelola maka manajemen sumberdaya air di wilayah DAS Kao Halmahera Utara perlu dilakukan secara terpadu dan dilaksanakan secara holistik. Keseluruhan stakeholder perlu dilibatkan dalam mengelola sumberdaya air di wilayah ini.
Peran para pihak dibagi dalam 4 klasifikasi (Bryson, 2003) yang ditunjukan dalam power-interest grid yakni players yaitu pihak yang paling dibutuhkan dalam kerja sama pengelolaan DAS, subjects yaitu pihak yang menginginkan kepentingannya di dalam DAS terlindungi, context yaitu pihak yang dapat mempengaruhi dampak dari pengelolaan DAS dan crowd yaitu pihak yang tetap perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan DAS. Hasil penilaian terhadap tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing para pihak menempatkan Bappeda, KPH, BPDASHL Ake Malamo, BWS Maluku Utara dan BPBD sebagai players dalam pengendalian masalah banjir ini. Pihak kecamatan dan masyarakat desa akan menjadi subjek, Dinas Pertanian dan PT. NHM sebagai context serta LSM/Pemerhati lingkungan dan Perguruan Tinggi sebagai crowd.
Dalam rangka memperbaiki kondisi ini serta pengelolaan DAS Kao secara umum setidaknya harus ada 3 program utama yang harus dilakukan, yaitu:

  1. Melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sesuai dengan arahan peta lahan kritis.
    RHL ini dapat dilakukan secara vegetatif maupun sipil teknis.
  2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dan mitigasi bencana berupa sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan.
  3. Kebutuhan suatu Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pengelolaan DAS Kao menjadi keniscayaan sebegai payung hukum pengelolaan pada tingkat tapak.

Perencanaan kebijakan regional sumberdaya air saat ini sudah mulai digencarkan untuk terus diimplementasikan sebagaimana yang tertuang dalam RTRWP Maluku Utara Tahun 2013-2033 tentang kebijakan penataan ruang, dengan salah satu poinnya menyoroti terkait pencegahan erosi, bencana banjir, sedimentasi, serta perlindungan kawasan. Kebijakan tersebut menjadi sebuah payung hukum dari pengelolaan DAS Kao. Pengelolaan DAS Kao tidak dapat terwujud secara optimal apabila suatu kebijakan tidak diiringi dengan sinergitas para pihak berkepentingan, sehingga semua pihak harus mempunyai tanggungjawab bersama dalam menyelesaikan permasalahan DAS Kao Halmahera Utara.

Penulis : Boy Andreas Marpaung
Editor : Heni Puji Astuti