- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Sistem Lahan dan Siklus Tata Air (Seri-2 Diskusi Peran Hutan Rakyat)
Sistem lahan di dalam DAS memiliki fungsi yang berbeda-beda tergantung dari posisi lahan. Kawasan paling atas atau hulu DAS, dicirikan dengan wilayah yang memiliki curah hujan tinggi, tingkat kelerengan tinggi (berbukit-bukit), sistem percabangan sungai yang banyak, didominasi oleh penutupan lahan bervegetasi (hutan) memiliki fungsi utama sebagai daerah resapan air hujan. Secara alami, kawasan hulu akan menangkap air hujan melalui vegetasinya, kemudian meresapkan dan menyimpan air hujan dalam sistem air bawah tanahnya. Sistem air bawah tanah inilah yang nanti akan muncul ke permukaan sebagai sumber-sumber mataair. Fungsi penting tersebut menjadi alasan daerah ini sering disebut sebagai daerah produksi, yaitu memproduksi air (dari hujan yang ditangkap), produksi sedimen (erosi alami) dan produksi unsur hara yang tercuci dari permukaan lahan dan masuk dalam aliran sungai. Perubahan penggunaan lahan di kawasan ini akan berimplikasi besar terhadap produksi yang dihasilkan, sehingga kawasan hulu ini memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap gangguan fungsi hidrologis.
Kawasan tengah DAS, biasanya pada daerah kaki-kaki gunung atau perbukitan sering diistilahkan sebagai daerah transport, yaitu mengalirkan hasil produksi di daerah hulu ke daerah yang lebih rendah. Fungsi tersebut memberikan ciri berupa debit aliran yang tinggi dan berpotensi terjadi erosi/longsor tebing sungai. Perubahan penggunaan lahan yang tidak hati-hati juga berpotensi meningkatkan “produksi” limpasan permukaan, erosi dan polutan ke badan sungai.
Daerah paling bawah atau hilir DAS, dicirikan dengan kondisi fisik berupa kelerengan yang rendah/datar, badan sungai yang lebih lebar dari bagian diatasnya dan debit aliran yang lambat sering disebut sebagai daerah deposisi atau pengendapan. Berbagai hasil “produksi” dari daerah hulu dan tengah akan terkumpul dan diendapkan di kawasan ini sebelum dialirkan ke laut. Kawasan ini juga dicirikan dengan frekuensi genangan/banjir yang tinggi akibat kiriman dari daerah atasnya dan banyaknya sedimentasi disekitar alur sungai.
Dari pembagian fungsi kawasan tersebut, kawasan hulu DAS memegang peranan yang paling penting terhadap kesehatan DAS. Jika kawasan hulunya rusak dan fungsinya tidak dapat berjalan, maka seluruh dampaknya akan diakumulasikan di kawasan hilir sebagai daerah penampungan dan pengendapan. Segala jenis hasil erosi, polutan air hingga aliran air sungai yang berlebihan akan terkumpul disini. Sementara itu, pada penggunaan lahan pemukiman dan pertanian intensif tidak mampu mengendalikan air hujan. Kawasan hulu yang memiliki fungsi utama menangkap air hujan dan memasukkannya ke dalam tanah (recharge area) harus memiliki penutupan lahan yang mampu menjaga siklus hidrologis tersebut dapat berjalan normal. Penggunaan lahan berhutan menjadi prioritas untuk menjaga agar siklus air dapat berjalan sempurna.
Di dalam kawasan hutan, pergerakan air dari atmosfer hingga lantai hutan menjadi peran yang penting dalam mendukung kapasitas penyimpanan air oleh tanah. Proses hidrologis di dalam sebuah kawasan hutan dimulai dengan proses intersepsi oleh vegetasi hutan. Kanopi hutan dapat berperan sebagai penghalang dan penunda sampainya air hujan ke lantai hutan melalui bantuan proses intersepsi tajuk, aliran tajuk (throughfall) dan aliran batang (stemflow). Proses hidrologis tersebut kemudian berlanjut ketika air hujan mencapai lantai hutan dan masuk ke dalam tanah mengisi lengas tanah dan air tanah melalui proses infiltrasi. Ketika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi akan memunculkan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi tanah.
Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa perubahan dalam kehilangan intersepsi, evapotranspirasi, infiltrasi dan debit puncak disebabkan oleh berbagai tingkat konversi hutan yang dapat mengubah waktu dan besarnya limpasan langsung dan aliran dasar untuk jangka waktu yang tak dapat diprediksi (Bruijnzeel, 1990; Beschta et al., 2000; Bruijnzeel, 2004; Ziegler et al., 2006; Suryatmojo, 2014). Beberapa studi telah meneliti perubahan variabel hidrologi dalam profil tanah yang mungkin memiliki implikasi untuk pemisahan dan gerakan dari aliran bawah permukaan (Van der Plas and Bruijnzeel, 1993; Malmer, 1996; Noguchi et al., 1997; Ziegler et al., 2004; Zimmermann et al., 2006).
Infiltrasi adalah gerakan air dari atmosfer ke tanah yang melewati beberapa lapisan yang dapat diidentifikasi tapi tidak dapat dihitung (Black, 1991). Praktek penggunaan lahan yang berbeda mempengaruhi laju infiltrasi (IR) dengan cara yang berbeda, tergantung pada pengaruhnya terhadap sifat-sifat intrinsik dari tanah (Osuji et al., 2010). Pergerakan air ke dalam dan melalui profil tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang mencerminkan permukaan dan bawah permukaan kondisi dan karakteristik aliran. Kondisi permukaan seperti jenis penutupan vegetasi, praktek pengelolaan lahan, kekasaran, pengerasan permukaan, retak, kemiringan, dan kandungan bahan kimia memiliki dampak yang signifikan pada proses genangan permukaan, kecepatan aliran permukaan, dan kemampuan air untuk memasuki tanah. Kondisi tanah yang mempengaruhi pergerakan air tanah dapat meliputi tekstur tanah, struktur, bahan organik, kedalaman, pemadatan, perlapisan, kadar air, air tanah, dan sistem akar. Faktor-faktor ini mempengaruhi kapasitas air tanah dalam menyimpan dan kemampuan air untuk bergerak (Chang, 2006).
Lahan bervegetasi minim kurang berperan dalam pengendalian daur air kawasan sehingga air hujan langsung jatuh ke permukaan lahan dan menjadi tenaga pengerosi yang besar dan kuat. Akibatnya, limpasan permukaan semakin besar dan disertai kandungan suspensi (hasil erosi) yang tinggi sehingga air sungai berwarna coklat gelap dengan debit yang lebih besar daripada debit yang keluar dari kawasan hutan. Berdasarkan fakta tersebut, maka kerentanan kawasan hulu harus menjadi perhatian khusus dalam upaya pengelolaan DAS secara menyeluruh. Upaya-upaya untuk mempertahankan fungsi kawasan hulu menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Setiap tindakan terhadap penggunaan lahan di kawasan hulu harus selalu mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap daerah di bawahnya melalui aliran sungai yang dihasilkan.