- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Hutan Rakyat sebagai Pengendalian Daur Air (Seri-3 Diskusi Peran Hutan Rakyat)
Siklus hidrologi merupakan sebuah proses perjalanan air dari permukaan tubuh air di permukaan bumi ke atmosfer dan kemudian jatuh (sebagai hujan, es) ke kembali permukaan daratan dan mengalir kembali lagi ke laut. Suatu DAS memiliki komponen fisik dan biotik yang saling berhubungan. Hubungan antar komponen fisik dan biotik ini akan memengaruhi siklus hidrologi yang ada dalam suatu DAS. Komponen fisik yang ada dalam suatu DAS dapat berupa iklim, morfometri DAS, serta kondisi lingkungan (kelerengan dan jenis tanah). Sedangkan komponen biotik yang juga dapat mempengaruhi siklus hidrologi yaitu manusia serta vegetasi. Komponen biotik ini cenderung lebih rentan untuk mengalami perubahan. Hal ini dapat terjadi akibat adanya peningkatan kebutuhan manusia seperti telah dijelaskan di muka. Perubahan yang terjadi pada setiap faktor dari proses hidrologi akan memengaruhi output DAS (debit aliran, debit suspensi). Siklus hidrologi air tergantung pada proses evaporasi dan presipitasi. Air yang terdapat di permukaan bumi berubah menjadi uap air di lapisan atmosfer melalui proses evaporasi (penguapan); serta proses transpirasi atau penguapan air oleh tanaman (Asdak, 2010).
Dalam sistem DAS kita mengenal pembagian wilayah DAS berdasarkan fungsi utama dalam pengendalian siklus air, siklus hara hingga siklus erosi. Wilayah hulu DAS memiliki fungsi utama sebagai kawasan resapan air (recharge area) dan melindungi kawasan dibawahnya. Fungsi sebagai kawasan resapan air jelas menuntut proses hidrologis yang baik dan terkendali sehingga air hujan yang jatuh pada kawasan hulu harus memiliki porsi yang besar untuk diresapkan (melalui proses infiltrasi) ke dalam tanah dan mengisi air tanah untuk dikeluarkan sebagai sumber-sumber mata air di daerah bawahnya. Proses infiltrasi secara alami akan berlangsung maksimal ketika kondisi penutupan lahan didominasi oleh vegetasi (berhutan). Adanya vegetasi berhutan setidaknya mampu berperan sebagai berikut:
1. Mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah oleh proses intersepsi hutan. Intersepsi adalah air hujan yang tertangkap, tertampung dan tersimpan di dalam kanopi (tajuk) hutan. Intersepsi pada kawasan hutan alam mencapai 25-30% dari air hujan yang jatuh. Berkurangnya jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah akan mengurangi potensi aliran permukaan dan erosi.
2. Menunda waktu sampainya air hujan ke permukaan tanah. Adanya vegetasi hutan dengan fungsi intersepsi akan menunda/mengendalikan jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan tanah tidak pada saat yang bersamaan. Hal ini akan memberikan waktu yang cukup bagi air hujan untuk masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi sehingga kemunculan air permukaan lebih terkendali.
3. Meningkatkan tahanan permukaan tanah melalui adanya tumbuhan bawah dan seresah di lantai hutan. Lantai hutan pada hutan alam juga mampu menahan dan menyimpan air hujan hingga 10-15% dari air hujan yang jatuh. Lantai hutan yang dipadati oleh seresah, rumput, semai hingga tumbuhan perdu mampu memberikan tahanan aliran permukaan yang dapat berperan mengurangi laju aliran permukaan dan menahan terjadinya erosi percik, permukaan hingga mengendalikan terbentuknya erosi alur.
4. Meningkatkan proses infiltrasi melalui sistem perakaran vegetasi hutan. Perakaran vegetasi akan meningkatkan porositas tanah yang berdampak pada meningkatnya laju infiltrasi. Semakin tinggi laju infiltasi, maka semakin rendah potensi kemunculan aliran permukaan penyebab erosi.
Setidaknya, dari 4 fungsi hidrologis hutan tersebut akan memberikan dampak yang besar bagi keseimbangan proses hidrologis di daerah hulu DAS. Keseimbangan fungsi hidrologis di hulu DAS jelas akan mampu mempertahankan kelestarian lingkungan di bagian hulu dan melindungi kawasan dibawahnya.Mudah dibayangkan, jika daerah hulu DAS tidak memiliki peran dan fungsi hidrologis tersebut, maka 100% air hujan yang jatuh akan langsung sampai ke permukaan tanah. Sebagai contoh, kawasan dataran tinggi Dieng yang sebelum tahun 1980an masih berhutan rapat, berubah drastis oleh maraknya konversi hutan menjadi lahan pertanian intensif. Akibat konversi tersebut, hujan yang tadinya mampu “dikelola” hutan melalui fungsi intersepsi hutan menjadi hilang, akibatnya 100% volume air hujan akan jatuh ke permukaan tanah. Sementara itu, kemampuan tanah untuk memasukkan air ke dalam tanah menjadi berkurang akibat adanya pemadatan tanah oleh kegiatan manusia. Akibat dari terganggunya proses hidrologis tersebut, proses hidrologi terganggu, maka tata air kawasan hulu DAS Serayu juga terganggu yang berdampak pada peningkatan erosi, pengurangan kesuburan tanah, tingginya aliran permukaan hingga meningkatnya potensi lahan rawan longsor.
Pada sisi lain, pemahaman proses terjadinya longsor lahan merupakan hasil dari proses yang berbeda dengan erosi ataupun banjir. Tanah longsor adalah proses perpindahan massa tanah (batuan) akibat gaya berat (gravitasi). Longsor terjadi karena adanya gangguan kesetimbangan gaya yang bekerja pada lereng yakni gaya penahan dan gaya peluncur. Gaya peluncur dipengaruhi oleh kandungan air, berat masa tanah itu sendiri berat beban mekanik. Ketidakseimbangan gaya tersebut diakibatkan adanya gaya dari luar lereng yang menyebabkan besarnya gaya peluncur pada suatu lereng menjadi lebih besar daripada gaya penahannya, sehingga menyebabkan masa tanah bergerak turun. Longsor terjadi ketika salah satu unsur penyebabnya, yaitu kandungan air dalam tanah cepat mencapai batas maksimal jenuh air (Suryatmojo, 2017).
Hal ini dipercepat dengan adanya pemicu berupa munculnya degradasi lahan akibat perubahan tataguna lahan yang tidak mengindahkan fungsi lahan dalam kawasan. Kombinasi faktor anthropogenik dan alam merupakan penyebab terjadinya longsor yang memakan korban jiwa dan kerugian harta benda. Kejadian longsor lahan di Karangkobar Banjarnegara (2014) dan Pulung, Ponorogo (2017) menjadi bukti ketika hutan dirubah menjadi penggunaan bervegetasi lain yaitu agroforestri yang justru meningkatkan proses masukknya air ke dalam tanah (infiltrasi) yang lebih cepat. Menurut hasil pengamatan di lapangan, kondisi di sekitar longsor banyak ditanami oleh tanaman pertanian, selain itu juga banyak ditemukan teras-teras di bagian atas bukit. Sistem terasering yang tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air (SPA) sangat berpotensi memicu terjadinya longsor. Air hujan yang jatuh akan tertahan lama di lahan (tanpa SPA) dan masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, akibatnya, tanah menjadi lebih cepat jenuh air (kenyang air) dan meningkatkan resiko terjadinya longsor.
Tanah yang diolah intensif menyebabkan tanah menjadi sangat porus/gembur. Tanah porus akan meningkatkan infiltrasi dan mempercepat tanah mencapai jenuh air. Selama musim hujan, tanah menjadi cepat jenuh air hingga kedalaman mencapai lapisan kedap air (impermeabel layer) dan mengaktifkan bidang gelincir (sliding plate). Jika terjadi kondisi hujan dengan intensitas tinggi, maka air hujan mayoritas akan menjadi aliran permukaan (ditambah arah pertanaman yang memotong garis kontur) dan mengerosi hebat permukaan tanah (tidak ada penguat tanah dari sistem perakaran tanaman/vegetasi berkayu) sehingga tanah hilang kestabilannya. Kondisi tersebut yang kemudian menjadi pemicu terjadinya longsor dan bencana lingkungan. Peran positif hutan dalam pengendalian daur air kawasan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan menjadi pertimbangan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan. Setiap upaya perubahan penggunaan lahan, terutama dari kawasan bervegetasi menjadi non-vegetasi perlu dilakukan dengan kehati-hatian dan memperhatikan perubahan proses-proses hidrologis yang akan terjadi.