- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
ARISAN Bencana Tahunan di Indonesia, Akankah Selesai?
Kembali, Indonesia berduka atas serangkaian bencana terkait datangnya musim hujan. Hampir dipastikan setiap akhir tahun memasuki musim penghujan selalu terjadi kejadian-kejadian bencana terkait air mulai dari banjir, banjir bandang hingga longsor lahan, sementara ketika musim kemarau bertebaran berita-berita tentang kekeringan diberbagai lokasi. Beberapa kejadian bencana besar telah terjadi, mulai dari longsor di Dusun Jemblung Banjarnegara (November 2014), Longsor lahan di Kluwih Kulon Progo (Desember 2015), Banjir Bandang di Sibolangit Sumatera Utara (Mei 2016) dan terakhir Banjir Bandang di Garut Jawa Barat (September 2016) yang kesemuanya menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit. Berbagai kejadian bencana tersebut selalu terjadi setiap tahun, dengan lokasi yang silih berganti bak giliran Arisan. Sampai kapan bencana itu akan selesai?
Cerita dimulai ketika kenyataan bahwa seluruh permukaan daratan bumi telah terbagi habis dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) atau watershed. DAS adalah adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Permenhut RI Nomor: P.42/Menhut-II/2009). DAS juga didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air).
Indonesia kaya akan berbagai macam potensi sumberdaya alam dan mineralnya. Keberadaan potensi sumberdaya alam yang berbeda seringkali menempati wilayah atau bentang alam yang sama, misalnya deposit bahan tambang dan mineral di dalam kawasan hutan. Akibatnya, terjadilah tumpang-tindih kepentingan dan kewenangan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam oleh instansi yang berbeda. Berbagai konflik yang terkait dengan pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam DAS, juga disebabkan karena belum adanya perangkat hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya DAS. Selain itu, konflik pemanfaatan sumberdaya seringkali terkait dengan belum berjalannya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS.
Meningkatnya potensi konflik terkait dengan pengelolaan sumberdaya DAS di satu pihak dan pola pengelolaan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan menyebabkan makin merosotnya kualitas ekosistem DAS seperti longsor, banjir dan kekeringan sehingga para pemangku kepentingan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya di dalam DAS menyadari pentingnya mewujudkan Pengelolaan DAS Terpadu dan upaya-upaya konservasi DAS-nya.
Hingga tahun 2012 saja, dari 458 DAS di Indonesia, 68 dinyatakan kritis berat, 222 kritis dan 168 berpotensi kritis (Gambar 1). Berdasarkan laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup, hanya 50 dari 155 DAS di Pulau Jawa yang memiliki nol persen tutupan hutan. Sementara, hanya 10 dari 155 DAS di Jawa yang persentase tutupan hutannya di atas 30 persen.
Sumber: Kementrian PU dan Kementrian Kehutanan
Gambar 1. Jumlah DAS Kritis di Indonesia
Saat ini, departemen-departemen teknis dan jajarannya baik di tingkat pusat maupun di daerah terutama yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya telah menggunakan pendekatan DAS (UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta peraturan pelaksanaannya). Undang-undang lain yang terkait dengan pengelolaan DAS antara lain UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan mengemukakan antara lain bahwa perencanaan teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) harus mengacu kepada rencana pengelolaan DAS terpadu dan pelaksanaan RHL harus mempertimbangkan DAS prioritas. Berbagai peraturan perundangan telah disediakan, namun implementasi di lapangan masih “jauh panggang dari api” dan masih saja menyisakan berbagai permasalahan lingkungan yang semakin parah (Gambar 2).
Sumber: Olah data BNPB
Gambar 2. Jumlah Kejadian Banjir dan Longsor di Indonesia
Gambar 1 dan 2 menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan semakin menurunnya kualitas ekosistem DAS (dicirikan dengan jumlah status DAS kritis) maka berimplikasi pada bertambahnya kejadian bencana terkait air (disaster related water). Apa yang menjadi pemicu bencana tersebut, tentunya selain kemunculan anomali-anomali cuaca beberapa tahun terakhir?
Pengelolaan DAS diperlukan untuk mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Kondisi tata air DAS yang berubah sebagai dampak adanya penggunaan lahan yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air di suatu DAS seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, percepatan degradasi lahan dan yang paling merugikan adalah kemunculan kejadian bencana. Selain berdampak nyata secara biogeofisik, juga secara sosial ekonomi yang menyebabkan hilangnya kemampuan masyarakat untuk berusaha di lahannya. Hal inilah yang melandasi pentingnya menggunakan indikator ekosistem sebagai satuan unit terbaik dalam pengelolaan sumberdaya DAS.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan kondisi DAS tersebut menjadi kondisi yang ideal diperlukan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan terpadu dari para pihak. Indikator kondisi DAS yang ideal setidaknya meliputi :
1) Pemanfaatan tata ruang dalam DAS yang sesuai dengan fungsinya,
2) hasil tata air, kualitas dan kontinuitas air terjaga,
3) erosi tanah terkendali, dan
4) produktivitas lahan dan daya dukung lahan terjaga untuk mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat dalam DAS.
Konsep pengelolaan lingkungan hidup dengan mengutamakan kelestarian ekosistem DAS hingga saat ini masih belum menjadi sebuah kebutuhan dari seluruh pihak. Berbagai perundangan telah dihasilkan namun belum berhasil diimplementasikan dengan baik. Carut marut penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya masih marak terjadi. Tata ruang dalam DAS setidaknya mempertimbangkan fungsi dari setiap wilayah hulu, tengah dan hilir serta perannya dalam proses siklus hidrologis dan siklus energi di dalam DAS.
Kawasan hulu, selalu dicirikan sebagai kawasan dengan tingkat kesuburan sumberdaya lahan yang tingkat, kelerengan tinggi, bervegetasi/berhutan dan curah hujan tinggi memiliki peran utama sebagai kawasan resapan air hujan (recharge area) dan berfungsi melindungi kawasan dibawahnya. Yang banyak terjadi di Indonesia, kawasan hulu telah dirombak menjadi fungsi lain seperti pemukiman, pertanian intensif dan kegiatan pariwisata. Perubahan penggunaan lahan berimplikasi pada perubahan tata air dan penurunan fungsi resapan air yang berakibat penurunan fungsi perlindungan kawasan dibawahnya dan peningkatan aliran permukaan yang memicu erosi, banjir dan longsor lahan (dalam skala besar menjadi bencana).
Kesadaran sebagai warga DAS, sebagian besar masyarakat tidak/belum memahami posisi dan lokasi lingkungan mereka beraktifitas dalam kaitannya dengan lingkungan yang lebih luas yaitu dalam wilayah kesatuan DAS. Masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan (recharge area) hanya fokus pada bagaimana pertanian super intensif mereka dapat menghasilkan manfaat (financial) setinggi-tingginya dengan berbagai cara (penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan), tanpa memahami dampak ikutannya terhadap kelestarian lingkungan disekitarnya hingga di bawahnya. Pertanian intensif kentang dan sayuran di kawasan dataran tinggi Dieng (termasuk hulu DAS Serayu) dapat sebagai contoh betapa kuatnya “kepentingan” atas produksi pertanian yang melupakan dampak ikutannya bagi lingkungan sekitar dan masyarakat di tengah dan hilir DAS sebagai penerima dampak. Sebagai kesatuan ekosistem, daerah hulu berperan sebagai daerah produksi air, erosi dan unsur hara bagi kawasan-kawasan dibawahnya. Pengelolaan daerah produksi yang tidak mengindahkan keseimbangan ekosistem menjadi pemicu degradasi lingkungan mulai dari penurunan kualitas dan kuantitas air, erosi dan sedimentasi, pencucian unsur hara yang berujung pada bertambah luasnya lahan kritis dan bertambahnya frekuensi kejadian bencana banjir, erosi, longsor dan kekeringan.
Tanggung jawab bersama, bahwa keberhasilan dalam pengelolaan DAS tidak akan dapat tercapai jika beban dan tanggung jawab hanya diberikan kepada pemerintah tanpa melibatkan masyarakat dan para pihak lainnya. Terbukti, restorasi ekosistem dan konservasi DAS yang dibabankan kepada pemerintah melalui berbagai model keproyekan seperti rehabilitasi lahan kritis, bangunan sipil teknis konservasi tanah dan air hanya berujung sebagai sebuah proyek belaka. Ketika proyek selesai, maka selesai pula fungsi yang diharapkan dari proyek tersebut karena pemeliharaan tidak dilakukan. Akhirnya, fungsi perbaikan tata air, pengendalian erosi dan sedimentasi tidak pernah tercapai dan bencana tetap terus terjadi (Gambar 2). Pelibatan aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, monitoring dan evaluasi menjadi penting untuk mencapai fungsi dan dampak positif terhadap perbaikan ekosistem dan tata air DAS yang diharapkan.
DAS adalah milik bersama, ketika para pihak menyadari bahwa tanggung jawab pengelolaan ekosistem dan lingkungan DAS adalah milik bersama, maka semangat “memiliki” DAS akan menjadi modal yang kuat untuk dapat bersinergi membangun DAS yang sehat. Menumbuhkan rasa “memiliki” DAS di masyarakat perlu diperkuat dengan berbagai kegiatan yang mengajak dan menyadarkan masyarakat menjadi bagian dari masyarakat DAS, memiliki tanggung jawab bersama dan semangat menjaga kelestarian ekosistem dan lingkungan hidup dalam DAS. Beberapa upaya dapat dilakukan mulai dari sosialisasi tentang pengelolaan DAS, membangun sekolah DAS bagi kader-kader konservasi DAS, komunikasi antara masyarakat hulu dan hilir DAS, dan sinergi antara peneliti (fungsi pengembang ilmu), pemerintah (fungsi regulator) dan masyarakat (fungsi aktor/pelaku utama) menjadi hal penting yang harus dapat dilakukan.
Mengelola ekosistem dan lingkungan hidup dalam konsep DAS bukan hal yang mudah, namun tidak mustahil untuk dilakukan. Perlu kesepahaman dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), rasa memiliki yang sama dan komunikasi yang baik dalam pelestarian ekosistem DAS. Semangat, motivasi, kebersamaan dan sinergi menjadi kunci penting dalam upaya mengurangi resiko bencana akibat kerusakan DAS.