- Pelatihan Operasional dan Pengolahan Data Drone untuk Mendukung Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Wilayah Karst
- Strategi dan Kebijakan Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
- Benang Kusut Tata Ruang, Hulu Bencana Banjir dan Longsor
- Nilai Properti di Daerah Terdampak Banjir Turun 20 Persen
- Langgar Tata Ruang, Bencana Banjir dan Longsor Pun Berulang
Penataan Penggunaan Lahan (Seri-1 Diskusi Peran Hutan Rakyat)
Secara lebih ilmiah, lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas tanah, relief, iklim, air dan vegetasi serta benda-benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan itu. Termasuk pula di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti reklamasi laut, pembersihan vegetasi, dan juga hasil yang merugikan seperti tanah yang tersalinisasi (FAO, 1976 dalam Arsyad, 1989). Sitorus (2001) mendefinsikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air danvegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya (Mather, 1986).
Penggunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumber daya yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Pemanfaatan sumber daya lahan hendaknya mempertimbangkan fungsi-fungsi lahan, yaitu 1) lahan sebagai tempat tinggal dan aktivitas manusia, (2) lahan sebagai habitat keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, dan (3) lahan pendukung kebutuhan hidup manusia melalui potensi sumberdaya air, tanah dan mineral didalamnya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang tertulis: pemanfaatan ruang meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan lindung serta kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Meskipun dalam penataan kawasan sudah membagi habis seluruh permukaan daratan sesuai fungsi-fungsinya, namun seringkali dijumpai pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Pada pengelolaan lahan sering terjadi adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengguna lahan atau sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Hal ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kemampuannya. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai fungsi akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem dan lingkungan seperti neraca air, neraca hara dan neraca erosi. Akibat lanjutnya adalah kemunculan degradasi lahan dan berbagai bencana seperti kekeringan, banjir hingga longsor lahan.
Degradasi lahan ditandai dengan penurunan atau kehilangan produktivitas lahan baik secara fisik, kimia, dan biologi maupun ekonomi. Degradasi lahan sering diakibatkan oleh kekeliruan-kekeliruan dalam pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya lahan. Pengelolaan dan penggunaan lahan meliputi pembukaan lahan (land clearing), penebangan hutan (deforstation), konversi untuk non-pertanian, dan irigasi. Kesalahan dalam pengelolaan dan proses penggunaan akan menimbulkan polusi, erosi, kehilangan hara, pemasaman, penggaraman (salinization), sodifikasi dan alkalinasi (sodification and alkalinization), pemadatan (compaction), hilangnya bahan organik, penurunan permukaan, kerusakan tanah, penggurunan (desertification), dan kehilangan vegetasi alami dalam jangka panjang (Agus, 2002 dalam Irsal Las, dkk, 2006).
Berbagai dampak dari pemanfaatan lahan termasuk perubahan-perubahannya dapat dimonitor dampak lingkungannya melalui proses hidrologis yang dihasilkan sebagai proses di dalam wilayah kesatuan hidrologis yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS). Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang berfungsi untuk menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu sungai utama (outlet) (Suryatmojo, 2017). Definisi DAS tersebut mengartikan bahwa seluruh purmukaan daratan di bumi ini terbagi habis dalam DAS. Pemanfaatan potensi sumberdaya alam di dalam DAS (termasuk hutan) untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan manusia telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan hutan yang dasyat. Perubahan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali akan mempengaruhi fungsi dan keseimbangan lingkungan termasuk proses-proses hidrologis di dalam wilayah DAS, Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan neraca air, sedimen, hara dan rusaknya habitat keanekaragaman hayati.
Daerah Aliran Sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian hulu, bagian tengah dan hilir. Di sungai terjadi berbagai macam aktivitas alami mulai dari erosi (pengikisan), pengangkutan (transportasi), dan pengendapan (sedimentasi). Ketiga aktivitas tersebut tergantung pada faktor fisik seperti kemiringan dasar sungai, struktur geologi dan tanah pembentuk sungai, volume tampungan sungai, dan kecepatan aliran dan faktor biotik seperti keberadaan tumbuhan air, tanaman di kanan-kiri alur sungai (sempadan). Manusia menjadi faktor terpenting sebagai penentu apakah suatu sungai dapat dipertahankan kelestarian lingkungan dan fungsinya atau justru menjadi aktor utama perusak lingkungan yang berakibat pada gangguan keseimbangan ekosistem dan tata air suatu kawasan. Penataan penggunaan lahan menjadi kunci penting dalam mempertahankan fungsi DAS sebagai sistem penyangga kehidupan. Interaksi dari aktivitas manusia dengan vegetasi, tanah dan air (hujan) akan mempengaruhi berbagai tipe penggunaan lahan. Setiap lahan dengan ekosistem yang terbangun memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan respon terhadap input air di bumi yaitu hujan. Tanggapan berbeda ini akan tercermin dari meningkatkanya luasan lahan yang terdegradasi akibat tingginya erosi tanah dan aliran permukaan yang terkumpul di sungai.
Dalam siklus tata air, sungai menjadi outlet / pelimpahan atas proses hidrologis pada sistem lahannya. Sistem tata air DAS sangat bergantung pada berbagai proses pada sistem lahannya. Dengan demikian, dalam sistem DAS, aliran sungai dapat menjadi salah satu indikator utama untuk menilai apakah suatu sistem tata guna lahan di dalam DAS tersebut mampu menghasilkan keluaran (berupa aliran air, sedimen dan unsur hara) yang baik dan terkendali, atau justru keluarannya membawa berbagai polutan, sedimen hasil erosi dan debit yang berlebihan sehingga menimbulkan berbagai bencana terkait air mulai dari banjir, longsor tebing sungai, banjir bandang, pencemaran air hingga sedimentasi.